Kepalaku Hilang

Foto: doves and serpents
Hari ini aku kehilangan kepala, beserta mata, telinga, hidung, dan mulutnya.

Hari ini aku mulai merasa penglihatan ini mengabur, perlahan menjadi abu-abu, lalu hitam dan gelap. Aku kehilangan pandangan yang seribu kali lebih benderang dari mercusuar gelap di tepi pantai sebuah pulau kecil. Semoga aku, sang nahkoda, sekarang tak membuat kapalku menabrak gunung es dan membuatku tenggelam di Samudera Atlantik.
Mulai hari ini aku kehilangan suara-suara itu. Suara-suara penyemangat, yang kadang berisi luapan-luapan di kepala, kadang juga berisi bisikan-bisikan dari lubuk yang paling dalam. Aku akan rindu panggilan-panggilan dan bisikan-bisikan itu. Aku akan rindu ramai seolah sepi tak pernah menyenangkan lagi bagiku.
Mulai hari ini aku juga kehilangan suaraku sendiri. Aku harus belajar mengeja lagi. Aku harus belajar bersemangat seperti sorot tajam matamu. Aku harus menata lagi teriakan-teriakan pelahap emosi yang sebenarnya sudah berada nyaris di ujung tenggorokan. Dia tertahan. Yang tersisa hanya doa, yang selalu mengiringi langkahmu.
Yang tersisa dariku sekarang hanyalah sepasang kaki dan tangan. Kaki aku tak akan lelah melangkah, menuju cita-cita, juga menuju bahagia. Dengan caraku sendiri. Kamu tak perlu tahu.
Tanganku akan aku gunakan untuk menggenggam, mungkin tongkat jati tua, atau mungkin hanya sandaran di sebelah tangga-tangga kayu yang lantainya berdecit jika terinjak. Aku hanya tak ingin tersandung lalu terjatuh dan terluka nantinya. Tanganku akan aku gunakan untuk mengukir, mungkin cita-cita, mungkin hanya menulis cerita-cerita pendek yang berisi keluh, kesah, hingga tangis, atau mungkin senyum, canda, dan gelak tawa bahagia. Mungkin. Cerita itu mungkin memang tak akan sempurna tanpa hadirnya engkau di sana. Namun, terima kasih kamu telah memulai cerita ini. Serahkan padaku saja untuk mengakhirinya dengan happy ending.
Ya, kepala yang segera hilang itu adalah kamu.

This entry was posted by Faisal Siddik. Bookmark the permalink.

Leave a Reply