Foto: gohawaii.com |
Sendiri adalah ketika kita mulai
mengabaikan keinginan hati kita sendiri. Sendiri adalah usaha kita untuk
menyangkal semua perasaan yang pernah menggebu di dalam dada. Sendiri adalah
jalan yang mau tidak mau harus kita tempuh jika kita tidak mau bersandar terus
pada masa lalu. Lebih tepatnya seseorang di masa lalu.
Kita adalah makhluk yang sangat
bergantung pada orang lain. Rasanya sulit hidup tanpa orang lain, terutama
orang lain yang begitu berarti untuk kita. Orang lain itu adalah orang yang
bisa menjungkirbalikkan senyum kita menjadi murung, juga sebaliknya, gundah
kita bisa hilang begitu saja tanpa alasan yang jelas hanya dengan menatap
senyumnya.
Hari ini, aku kembali menjadi manusia
yang bergantung pada orang lain.
Perasaan itu muncul lagi. Aku kembali
menjadi manusia yang selalu murung menunggu kabar darinya. Namun setelah sebuah emoticon “:)”
mendarat di kotak masuk pesanku, semua gundah hilang berganti menjadi tawa
ceria. Sesederhana itu.
Aku selalu ingin pulang ke rumah lebih
cepat, berharap akan ada keceriaan baru di malamnya nanti. Saling bertukar
canda lewat pesan singkat, ataupun lewat jaringan telepon. Gelak tawanya selalu
terbayang di sepanjang jalan perjalanan pulang. Tak ayal laju kendaraan
kunaikan agar sesegera mungkin sampai di rumah untuk membuka telepon seluler,
dan melihat kabar darimu. Kadang senyum terpasang megah di ujung bibir saat
melihat pesan darimu. Namun tak jarang juga kecewa hinggap di dasar dada, kamu
tak kunjung memberi kabar.
Perasaan itu
muncul lagi. Aku kembali menjadi manusia yang selalu tak puas terhadap waktu.
Tak adil jika waktu terasa cepat ketika kita sedang bersama seseorang yang
berarti. Hingga kadang ada rasa tak rela harus mengakhiri canda dengannya ketika
malam semakin larut dan masing-masing dari kami harus melanjutkan hidup
besoknya. Tapi entah apa yang sebenarnya terjadi, aku rasa tak ada satupun dari
kami yang ingin mengakhiri sebuah percakapan di telepon ataupun lewat aplikasi messenger di telepon seluler kami. Atau
hanya aku saja yang merasa? Entahlah.
Aku merasakan lagi debar-debar ketika
hendak memulai percakapan dengannya. Rasanya ada jutaan hal yang ingin aku
katakan padanya. Ada dunia yang ingin aku bicarakan dengannya. Namun ketika
parasnya muncul di hadapan, semua yang tersisa hanyalah kekagumanku atas
dirinya. Aku hanya bisa menatap dalam-dalam matanya. Aku kehilangan kata-kata,
mungkin aku harus belajar mengeja lagi.
Perasaan itu muncul lagi. Aku kadang
merasa cemburu pada semua hal yang membuatnya tersenyum selain aku. Terlalu
egois memang, tapi kadang juga aku sadar, melihatnya tersenyum saja, tanpa
peduli karena apa atau siapa, aku merasa bahagia. Aneh.
Perasaan itu muncul lagi. Tak ada satu
hari pun yang aku lewati tanpa mengintip sedikit status-nya di
semua akun social media yang dia miliki. Berharap ada tulisan
yang bercerita tentang kami. Jika ada, jantung ini berdebar tak menentu lebih
kencang daripada ketika kita sedang menghadapi sebuah ketakutan yang sangat.
Namun, tak jarang kecewa menyelimuti ketika tak ada satupun yang ia tulis di
akun social media-nya. Tak jarang akhirnya aku yang mulai menulis
hal-hal tentangnya, berharap dia membaca dan menyadari semuanya.
Perasaan itu muncul lagi. Kehilangan
adalah bagian tersulit dari sebuah perjalanan. Aku takut kehilangannya,
meskipun sebenarnya memilikinya pun aku belum. Aku takut salah bertindak.
Setiap kata yang terucap selalu kujaga agar tak menyakiti hatinya. Setaip pesan
yang kukirim, selalu kuperhatikan baik-baik, semoga tak ada sedikitpun yang
menyinggung perasaannya.
Semua perasaan itu muncul lagi. Persis
seperti matahari pagi yang sedang megah menujukkan cahayanya pada dunia.
Serumit-rumitnya perasaan itu, ternyata
semua hanyalah bagian paling sederhana dari jatuh cinta.