Perihal Jatuh Cinta

Foto: andrewcomiskey.com

Kita adalah makhluk yang aneh. Ketika memulai sesuatu, kadang kita ingin menghentikannya. Namun, ketika hal tersebut berakhir, kita ingin mengulangnya. Aneh, bukan?

Salah satu contohnya adalah ketika jatuh cinta. Ketika kita merasa cinta kita tak akan terbalas, bertepuk sebelah tangan, atau mungkin hanya sebuah kayalan, kita memaksakan diri untuk menghentikan debar-debar di dada itu tanpa mencoba membuktikan sebelumnya. Namun, ketika debar itu hilang, kita malah merindukannya.

 —

Ketika jatuh cinta, yang terlintas di pikiran kita adalah bagaimana kita bisa mendapatkan balasan cinta dari dia. Ketika jatuh cinta, kita juga sering berkhayal bahagia bersama dia, padahal mengajaknya berkenalan saja tidak cukup bernyali. Ketika jatuh cinta, kita juga jadi cemburu pada semua hal yang bisa membuatnya tersenyum. “Harusnya aku yang membuat dia tersenyum,” logika bergejolak. Sebuah pemikiran yang logis, tapi egois.

Jatuh cintalah ketika siap, ketika tak ada lagi bayang-bayang seseorang di masa lalu yang masih menghantui tidur-tidur yang tak pernah nyenyak. Atau mungkin, jatuh cintalah terlebih dahulu, mungkin itu bisa menyingkirkan sejenak bayang-bayang yang kerap membuat malam menjadi mengerikan, dingin, dan penuh dengan pilu karena rindu.

Gagal jatuh cinta mungkin hal yang biasa bagi beberapa orang, tapi beberapa sisanya merasa itu merupakan hal yang lebih menyakitkan dari ujung-ujung jemari yang tergores dan luka. Sisanya lagi, merasa jatuh cinta itu indah, terutama ketika kita mulai merasa bebas dari belenggu sosok di masa lalu.

Namun, aku kadang memilih untuk tidak jatuh cinta dahulu. Padahal bayang-bayang itu sudah hilang ditelan sembilu rindu. Bukan takut atau tak ingin, bukan tak mau berbagi dengan yang baru, hanya saja aku ingin mempersiapkan diri untuk jadi yang lebih baik, agar kelak siapapun orang yang kucintai akan merasa lebih baik pula.

Jatuh cinta itu seperti jam pasir. Kita balikkan, lalu pasir mulai berjatuhan ke bagian bawah yang kosong. Jika sudah habis, tinggal tunggu saja waktunya membalikkannya kembali, berulang-ulang. Hingga suatu saat, kita akan menemukan suatu keadaan di mana pasir itu tak akan berpindah tempat. Ya, ketika berbaring.


Aku tak ingin terburu-buru jatuh cinta, atau aku hanya akan selalu mengulang hal sama, yang sudah kuharapkan segera berakhir.

This entry was posted by Faisal Siddik. Bookmark the permalink.

Leave a Reply