![]() |
| Foto: tablemountain |
Aku melihat titik cahaya di seberang sana. Kuning. Titik-titik itu diam, banyak, bersusun rapi. Di bawahnya berkeliaran titik-titik cahaya kuning lainnya, berlalu-lalang. Seolah tak ingin kuperhatikan, titik-titik yang bergerak itu bersembunyi ke balik bukit dan pohon.
Di tempat lain, terlihat titik cahaya yang bergerak ke atas. Tanpa perintah, titik itu berubah menjadi ratusan titik-titik warna-warni lain. Merah, hijau, kuning, lalu kembali hitam. “Ingin kunikmati kehangatan ini dengannya. Ah, percuma, Dia hanya akan merasa hangat bila bersama seseorang. Bukan aku.”
Samar terdengar deru angin yang membawa dingin, dingin yang sama dengan tatapan matanya. “Aku jadi malas mengenakan jaket, dingin tatapannya tak sehangat titik-titik cahaya disana.”
Suara kendaraan yang berteriak disana hanya terdengar sebagai bisikan dari sini. “Suaramu tak pernah terdengar lagi semenjak saat itu. Kita hanya bertegur sapa dengan senyum yang penuh dengan kepalsuan, dengan tatapan yang dihiasi keengganan.”
Angin semakin kencang berhembus, dingin mulai menggerayangi tubuhku. Aku yang masih berduaan dengan kesendirianku, hanya bisa menahan dingin. “Aku tidak butuh (lagi) kau!”
Dingin memang selalu menyerang pada saat yang tepat. Saat aku mulai membutuhkan kehangatan, dingin itu datang menawarkan kehangatan. Agak tidak logis memang. “Setidaknya, setelah dingin ini, akan ada kehangatan esok hari saat matahari terbit.”
Aku tidak pernah mengharapkan dingin ini berubah menjadi hangat. Aku hanya membiarkan ini berjalan apa adanya. Seperti halnya dingin, kehangatan akan datang tepat pada waktunya. “Tetaplah kau seperti itu, aku tidak ingin semua berubah. Biar aku yang menghangatkan diriku sendiri. Kamu… ah sudahlah.”
Di tempat lain, terlihat titik cahaya yang bergerak ke atas. Tanpa perintah, titik itu berubah menjadi ratusan titik-titik warna-warni lain. Merah, hijau, kuning, lalu kembali hitam. “Ingin kunikmati kehangatan ini dengannya. Ah, percuma, Dia hanya akan merasa hangat bila bersama seseorang. Bukan aku.”
Samar terdengar deru angin yang membawa dingin, dingin yang sama dengan tatapan matanya. “Aku jadi malas mengenakan jaket, dingin tatapannya tak sehangat titik-titik cahaya disana.”
Suara kendaraan yang berteriak disana hanya terdengar sebagai bisikan dari sini. “Suaramu tak pernah terdengar lagi semenjak saat itu. Kita hanya bertegur sapa dengan senyum yang penuh dengan kepalsuan, dengan tatapan yang dihiasi keengganan.”
Angin semakin kencang berhembus, dingin mulai menggerayangi tubuhku. Aku yang masih berduaan dengan kesendirianku, hanya bisa menahan dingin. “Aku tidak butuh (lagi) kau!”
Dingin memang selalu menyerang pada saat yang tepat. Saat aku mulai membutuhkan kehangatan, dingin itu datang menawarkan kehangatan. Agak tidak logis memang. “Setidaknya, setelah dingin ini, akan ada kehangatan esok hari saat matahari terbit.”
Aku tidak pernah mengharapkan dingin ini berubah menjadi hangat. Aku hanya membiarkan ini berjalan apa adanya. Seperti halnya dingin, kehangatan akan datang tepat pada waktunya. “Tetaplah kau seperti itu, aku tidak ingin semua berubah. Biar aku yang menghangatkan diriku sendiri. Kamu… ah sudahlah.”

Bang Isal lagi galau wkwk
Ya Allah baper :(